Welcome to Ana's Blog

08 Oktober 2009

Mental Anak Jalanan

Kalau ditilik dari sudut sosiologi, pertumbuhan dan perkembangan desa dan kota tentu berbeda. Umumnya, di daerah pedesaan dinamika masyarakat bersifat statis. Anak-anak lahir dalam keluarga, sementara lahan untuk mata pencaharian tidak pernah bertambah. Ladang dibentuk dari hutan, semakin jauh ke dalam, hanya sekadar untuk mempertahankan hidup. Tetapi hal itu pun tidak menolong banyak. Akibatnya, hutan semakin berkurang dan bencana alam pun turut merusak "alam" yang dijajah manusia dan menuntut "balas" kepada manusia yang merusak lingkungan.

Di perkotaan, tumbuhnya industri telah menyedot banyak tenaga kerja bagaikan magnet bagi penduduk desa. Terjadilah arus urbanisasi. Walaupun begitu, tidak semua mereka ini dapat memberi hidup kepada anak-anak di dalam keluarganya sehingga terjadilah dampak yang tidak diharapkan. Anak menjadi peminta-minta di jalan dan berusaha "memeras" rasa belas kasihan orang yang lewat. Uang recehan akan bermunculan dari balik jendela depan! Sangat mudah mendapatkan uang. Hal ini menarik lebih banyak lagi orang desa datang ke kota dan memanfaatkan anak mereka yang mudah dikasihani.



Fenomena Anak Jalanan..



Anak-anak ternyata tidak lepas pula dari dampak krisis ekonomi yang sedang dialami bangsa kita. Mereka yang seharusnya bersekolah malah menjadi pengemis karena tekanan ekonomi dan tuntutan untuk bertahan hidup. Mereka terpaksa hidup di jalanan. Mengingat kemampuan ekonomi orang tua mereka yang minim, belum lagi mera yang telah di tinggalkan oleh orang tuanya. Jalananlah yang dapat menerima mereka untuk mengais nafkah. Tidak jarang mereka menjadi frustrasi karena tidak adanya jaminan masa depan, akhirnya mereka terjerumus ke dalam kejahatan.

Dengan media sebuah kecrekan yang mereka buat sendiri dari tutup-tutup botol yang digepengi mereka mengamen dari mobil ke mobil. Belum lagi kalau nasib tak bersahabat, mereka tak mendapatkan sepersen pun dari usaha mereka melainkan usiran dan omelan yang mereka dapat. Beberapa tahun sebelumnya kaum gelandangan yang menguasai jalanan, adalah rombongan pengemis usia tua, cacat, dan mengenaskan bentuk tubuhnya. Tetapi satu dekade belakangan ini, muncul fenomena baru, anak-anak usia di bawah sepuluh tahun dan usia belasan tahun, sekonyong-konyong bersaing dengan pendahulu mereka dan "merajai" jalan. Saya menemukan dua orang anak jalanan kira-kira usianya di bawah 10 tahun. Mereka kakak beradik yang disuruh mengamen oleh orang tuanya. Mirisnya keadaan mereka membuat semua para penumpang di angkot itu mengeluarkan beberapa recehan untuk mereka. Saya bertanya pada kakaknya, sebut saja si Rena (nama samaran) “Adik kenapa mengamen, gak kasihan sama adikya, sebut saja Adit (nama samaran)?” anak jalanan itu menjawab apa adanya. “kami disuruh orang tua kak,kata mereka kami gak bisa makan kalau gak ada duit”.”orang tua adik dimana?” saya semakin penasaran, apa sih yang mereka rasakan sebagai seorang anak jalanan. Rena menjawab “ada di rumah kak”. “adik gak pengen sekolah?”. “pengen banget kak,tapi ibu gak punya uang!!” tuturnya dengan wajah yang sangat memelas belah kasihan. “adik umurnya berapa tahun?”. “9 tahun kak”. Kalau adiknya?”.”masih 5tahun”. Anak seusia mereka seharusnya tidak mengenal kata kerja, bahkan untuk di pekerjakan.Mereka dipaksa orang tua untuk merasakan getirnya kehidupan. Mereka tumbuh dan berkembang dengan latar kehidupan jalanan dan akrab dengan kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya kasih sayang, sehingga memberatkan jiwa dan membuatnya berperilaku negatif . Tetapi pada fenomena yang ada kasus seperti itu banyak terjadi di kalangan kita.



Apa yang harus kita lakukan??



Pasal 9 ayat (1) UU no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menyebutkan; “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya”. Pemenuhan pendidikan itu haruslah memperhatikan aspek perkembangan fisik dan mental mereka. Sebab, anak bukanlah orang dewasa yang berukuran kecil. Anak mempunyai dunianya sendiri dan berbeda dengan orang dewasa.

Pendidikan pada hakekatnya bertujuan membentuk karakter anak menjadi anak yang baik. Khusus untuk anak jalanan pendidikan luar sekolah yang sesuai adalah dengan melakukan proses pembelajaran yang dilaksanakan dalam wadah rumah singgah. Di sebuah surat kabar tertera bahwa ada 70 anak jalanan mendapatkan beasiswa dan 2 anak jalanan berhasil masuk Universitas Indonesia.

Pendidikan pada hakekatnya bertujuan membentuk karakter anak menjadi anak yang baik dan Kasih sayang adalah fundamen pendidikan. Tanpa kasih, pendidikan ideal tak mungkin dijalankan.


Sumber :


kesehatan anak jalanan-pdf & wordfree Ebooks download.


http://pepak.sabda.org/e-binaanak/319/


republika 15 juli 2002 hal 19 kolom 7-8 ( Humas UI kliping )

humanisclub.wordprees.com



2 komentar:

Anonim mengatakan...

wah, orang tua dari anak jalanan tersebut gak bertanggung jwb tuh. masa anaknya di suruh kerja cari duit sedangkan orang tuanya malah asik2an di rumah. kan cari nafkah tugasnya orang tua bukannya anak.

aNa'bLog' mengatakan...

yupz,,btul sekali..
coba aja kita lihat di luar sana byk bgt kasus2 seperti ini.

mksh saran dan kritikannya.

Buku Tamu


ShoutMix chat widget
 
Blogger design by suckmylolly.com